Teknologi Pendidikan

TEKNOLOGI INFORMASI NAFAS PENDIDIKAN BERKARAKTER

Oleh : Surya Sebamo


Teknologi pendidikan berorientasi pada proses belajar mengajar, begitulah ungkapan Miarso dalam buku Mozaik Teknologi Pendidikan yang disunting oleh Dewi Salma Prawiradilaga.
Berbicara tentang teknologi, sudah tidak asing di telinga penikmat pendidikan. Namun, beberapa kalangan merasa bahwa teknologi pendidikan asing adalah hal baru yang mesti dipelajari dan dikembangkan sebagai alat bantu pendidikan. Beberapa asumsi pendidik dan masyarakat menyatakan bahwa teknologi hanya mampu dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Atau jika berbicara tentang pendidikan, teknologi hanya mampu merambah ke sekolah-sekolah yang berkualitas atau yang berstandar sekolah internasional. Kata teknologi seringkali dikaitkan dengan sistem komputerisasi dan jaringan internet. Mendengar kedua kata tersebut, bagi kalangan menengah ke bawah merasa bahwa mereka belum layak untuk menyandang predikat sebagai pengguna (user) yang baik bagi teknologi tersebut. Di samping, karena keterbatasan sarana yang mendukung, juga keterbatasan sumber daya manusianya itu sendiri untuk mengoperasi sistem teknologi. Sehingga teknologi hanya sebatas dikenal sebagai alat-alat elektronik atau alat-alat modern yang hanya digunakan oleh kalangan tertentu.
Pandangan di atas, hanyalah membuat paradigma yang acuh tak acuh terhadap teknologi. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Manusia itu sendiri adalah media. Guru adalah media yang selalu hadir saat terjadi proses belajar mengajar di kelas. Dalam kurikulum 2013 atau kurikulum pendidikan berkarakter, selain pendidik, media atau teknologi menjadi nafas pendidikan. Pendidik sebagai perantara dan sebagai instruktur untuk meningkatkan perolehan hasil belajar bagi peserta didik. Sedangkan teknologi adalah sumber belajar atau sumber informasi bagi nara didik untuk memperoleh pengetahuan/bahan ajar bagi peserta didik. Teknologi informasi bagi sebagian besar penguna/penikmat lebih dikenal dengan medium yang memberikan jawaban atas kebutuhan informasi untuk segala bidang dan disiplin ilmu. Tidak salah bila kehadirannya bagaikan gayung bersambut, disaat berbagai saluran informasi yang ada selama ini dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan.
Dr. Munir, M. IT (2008), menuliskan bahwa pendidikan merupakan komunikasi terorganisir dan berkelanjutan yang dirancang untuk menumbuhkan kegiatan belajar pada diri peserta didik, sedangkan Lukas (2000), menguraikan defenisi teknologi informasi yang dijelaskan sebagai berikut: “Teknologi informasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronis, micro komputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak memproses transaksi, perangkat lunak lembar kerja (worksheet) dan peralatan komunikasi dan jaringan merupakan contoh teknologi.” Pendidikan dan teknologi tak dapat dipisahkan, teknologi diibaratkan oksigen dan pendidikan diibaratkan alat pernapasan, lebih jelasnya, bahwa keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Oksigen (O2) tanpa alat pernapasan menjadi tidak dibutukan, sedangkan alat pernapasan tanpa oksigen berarti mati atau tiada arti.
Mirisnya pada saat sekarang ini, teknologi informasi berkembang pesat, manusia bisa memperoleh beragam pengetahuan, namun tidak semua menyikapi hal itu baik. Teknologi bukannya menjadi sumber informasi untuk memperoleh pengetahuan, akan tetapi disalah-gunakan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan remaja. Kalangan remaja masa kini memanfaatkan teknologi hanya sekadar sebagai gaya hidup, yang pada dasarnya sarat akan perkembangan teknologi informasi. Sementara penggunaan teknologi informasi yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah, dinomor duakan. Beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia mengumumkan berdasarkan data dari Kominfo, bahwa pengguna Facebook di Indonesia mendapat peringkat kedua setelah Amerika Serikat yang merupakan negara pembuat jejaring sosial tersebut. Dan untuk penguna twitter, Indonesia menduduki peringkat kelima. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang didapatkan oleh user/pengguna dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. Baru-baru ini, pemuda yang pekerjaannya sehari-hari sebagai tukang kipas sate, ditangkap akibat penyalah-gunaan status di facebook yang dianggap menghina Presiden Republik Indonesia ketujuh. Itu terjadi karena minimnya pengetahuan akan manfaat teknologi dan informasi bagi kalangan remaja.
Selain internet, penikmat teknologi di media massa juga belum membantu menjadi perantara informasi tentang pendidikan yang mampu mendukung perkembangan peserta didik. Acara-acara yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi, sifatnya hanyalah menghibur. Terlebih ada berbagai acara yang sifatnya kurang mendidik dalam hal perkembangan karakter. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, kategori remaja, peserta didik di sekolah sering kali melakukan tingkah layak seorang pemain sinetron, misalnya gaya berdandan, gaya memperlakukan teman bahkan sampai gaya berbicaranya seolah-oleh mereka adalah pemain sinetron. Menurut penulis, hal ini bukan pendidikan karakter yang baik bagi perkembangan peserta didik saat usia-usia remaja.
Dengan demikian, teknologi informasi yang seharusnya menjadi nafas (oksigen) pendidikan anak bangsa yang berkarakter dan berakhlaq, berubah menjadi karbondioksida (CO2) atau racun yang membunuh pendidikan berkarakter. Pertanyaan bagi pendidik, apa yang yang sudah kita lakukan dalam penggunaan teknologi informasi? Apakah yang dilakukan pendidik dalam melaksanakan kurikulum pemerintah saat ini yang berbasis teknologi informasi sudah berhasil? Ataukah malah membunuh karakter siswa, menjadi generasi yang meracuni dirinya sendiri dengan informasi yang salah yang sudah diterimanya? Saatnya para pendidik berinovasi dalam memanfaatkan teknologi informasi demi perkembangan peserta didik menjadi generasi penerus harapan bangsa, menjadi manusia yang humanis, berkarakter, berakhlaq, kreatif, dan generasi yang jauh dari praktek-praktek prostitusi, KKN, SARA dan sebagainya. Karena pendidikan yang baik akan merubah karakter bangsa menjadi baik. Karakter manusia terletak pada pikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin (Al-Akhlaq). Jadi, karakter generasi bangsa dilahirkan melalui pendidikan bernafaskan teknologi sebagai sumber informasi dan komunikasi (pendidikan).
Penulis, Mahasiswa S2 FKIP Untan, konsentrasi Teknologi Pendidikan.

Komentar

Postingan Populer